Dalam dunia game modern, membawa nama besar seperti Marvel ke panggung video game bukan sekadar tugas, melainkan tantangan besar yang dibebani ekspektasi fans berat. Ketika Marvel’s Avengers diumumkan oleh Crystal Dynamics dan diterbitkan oleh Square Enix, banyak gamer yang membayangkan akan mendapatkan game aksi penuh aksi sinematik dan cerita ikonik dengan para pahlawan terkuat Bumi. Tapi apakah ekspektasi itu benar-benar terpenuhi?
Sebagai editor iptogel, akan membedah apa yang sebenarnya ditawarkan oleh Marvel’s Avengers, mulai dari kekuatan cerita, gameplay, hingga alasan kenapa game ini menjadi salah satu contoh kasus besar tentang harapan tinggi dan realita pasar yang berbeda.
Konsep Besar: Game Superhero Lintas Karakter
Marvel’s Avengers adalah game action-adventure third-person dengan fokus pada pertarungan dan kerja sama tim. Kamu akan bermain sebagai beberapa karakter ikonik seperti:
- Iron Man
- Thor
- Captain America
- Hulk
- Black Widow
- Dan tokoh orisinal yang jadi kunci cerita: Kamala Khan a.k.a Ms. Marvel
Game ini berusaha menyajikan pengalaman single-player sinematik dengan cerita orisinal, sambil juga merangkul gaya permainan multiplayer co-op berbasis misi dan loot system ala “game as a service.”
Konsepnya cukup menggoda: kamu bisa mengendalikan berbagai Avenger dengan gaya bertarung unik masing-masing, upgrade kekuatan mereka, dan bermain bersama teman dalam misi heroik. Sayangnya, eksekusinya tidak selalu sejalan dengan potensinya.
Cerita Utama: Kamala Khan dan Reuni Para Pahlawan
Ceritanya dimulai dengan A-Day, hari perayaan Avengers yang berakhir tragis karena serangan misterius dan ledakan yang memporak-porandakan San Francisco. Captain America dikabarkan tewas, Avengers bubar, dan sebuah organisasi bernama A.I.M. mengambil alih dunia dengan dalih menyelamatkan umat manusia lewat teknologi.
Beberapa tahun kemudian, Kamala Khan—remaja penggemar berat Avengers—menemukan bukti konspirasi yang memaksa dia untuk mencari dan menyatukan kembali para pahlawan. Dari sinilah perjalanan single-player dimulai.
Harus diakui, kampanye cerita awal cukup solid, dengan karakterisasi Kamala yang menyegarkan, penulisan dialog yang natural, dan dinamika antar anggota Avengers yang terasa manusiawi. Momen emosional dan pertarungan boss besar juga memberikan pengalaman sinematik khas Marvel.
Namun, begitu kampanye utama selesai, game mulai menunjukkan sisi repetitif dan kekurangannya.
Gameplay: Kekuatan Super yang Kadang Terasa Biasa
Setiap karakter punya gaya bermain unik:
- Iron Man bisa terbang dan menembakkan berbagai senjata jarak jauh
- Thor membawa Mjolnir dan bisa memanggil petir
- Hulk mengandalkan kekuatan fisik murni dan lompatannya
- Black Widow lebih fokus pada stealth dan gadget
- Kamala Khan punya kekuatan meregangkan tubuh dan regenerasi
Variasi ini memberi nuansa segar saat pertama kali mencoba masing-masing. Namun dalam jangka panjang, banyak pemain merasa combat menjadi repetitif dan kurang mendalam, terutama dalam misi co-op yang hanya mengandalkan gelombang musuh dan struktur misi yang monoton.
Gerakan, animasi, dan efek spesial memang memukau. Tapi kurangnya interaktivitas lingkungan dan variasi musuh membuat potensi pertarungan superhero terasa kurang maksimal.
Sistem Loot dan Progression: Terjebak di Dua Dunia
Salah satu elemen yang paling banyak dikritik adalah sistem loot dan progres karakter. Alih-alih memberikan gear yang terlihat secara visual (seperti pada game RPG), Marvel’s Avengers mengandalkan:
- Loot gear dengan stat tertentu
- Skin visual yang terpisah dan hanya bisa didapat dari toko atau reward khusus
- Grinding berlebihan untuk menaikkan power level
Ini membuat pengalaman bermain terasa seperti game service ala Destiny atau Anthem, tapi tanpa kedalaman endgame dan variasi build yang memuaskan. Loot menjadi angka, bukan bagian dari fantasy superhero.
Ditambah lagi, sebagian konten kosmetik terbaik terkunci di balik microtransaction—hal yang memicu keluhan besar dari komunitas.
Co-op dan Endgame: Potensi yang Tak Tergali
Setelah kampanye selesai, pemain diarahkan untuk bermain misi co-op online. Di sini, kamu bisa membentuk tim bersama teman atau pemain lain dan menjalankan:
- Daily missions
- Faction assignments
- Vaults dan Hives (area musuh bertingkat)
- Event khusus mingguan
Masalahnya, misi ini cepat terasa membosankan, dengan variasi tujuan yang minim (bunuh musuh, lindungi area, cari objek) dan level design yang sangat mirip satu sama lain.
Ditambah dengan bug, matchmaking yang lambat, dan imbalan yang kurang memuaskan, mode co-op gagal menjadi daya tarik jangka panjang seperti yang dijanjikan.
Konten Tambahan dan Karakter Baru
Sejak peluncuran, Square Enix menambahkan beberapa konten dan karakter baru:
- Kate Bishop
- Hawkeye (Clint Barton)
- Black Panther lewat ekspansi War for Wakanda
- Spider-Man, tapi eksklusif untuk PlayStation
- Winter Soldier dan update seperti Omega Level Threats
DLC seperti War for Wakanda menambahkan map baru dan boss menarik (Ulysses Klaue), serta cerita pendek yang cukup solid. Tapi tetap saja, masalah fundamental dari game loop belum banyak berubah.
Visual dan Musik: Kekuatan Produksi AAA
Dari sisi grafis, Marvel’s Avengers tampil memukau:
- Desain karakter realistis
- Animasi efek skill sangat keren
- Lokasi seperti Helicarrier, hutan Wakanda, dan kota futuristik terlihat apik
Musik juga membawa nuansa heroik, meskipun tidak terlalu ikonik. Voice acting dilakukan dengan baik, termasuk dari Troy Baker (Bruce Banner), Nolan North (Tony Stark), dan Sandra Saad (Kamala Khan).
Kelebihan dan Kekurangan
✅ Kelebihan:
- Kampanye single-player solid dan emosional
- Desain karakter dan animasi keren
- Gaya bertarung tiap hero unik
- Visual dan produksi kualitas tinggi
- Lore Marvel yang menarik
❌ Kekurangan:
- Endgame yang membosankan dan repetitif
- Loot system membingungkan dan tidak rewarding
- Mikrotransaksi untuk kostum membuat frustrasi
- Karakter tambahan tidak menyelamatkan gameplay loop
- Konten terlalu bergantung pada grinding
Kesimpulan: Harapan Tinggi, Realita yang Rumit
Marvel’s Avengers adalah game dengan fondasi kuat tapi arah yang membingungkan. Ia punya cerita menyentuh, desain visual mengagumkan, dan roster karakter luar biasa. Namun keputusan untuk menggabungkan single-player sinematik dengan model live-service berbasis grinding membuatnya kehilangan fokus.
Bagi pecinta Marvel, ini tetap layak dicoba—terutama untuk menikmati ceritanya dan merasakan jadi pahlawan super. Tapi bagi gamer yang mencari game service dengan longevity dan kedalaman gameplay, Avengers mungkin belum mampu memberikan itu secara konsisten.
Pada akhirnya, Marvel’s Avengers adalah pengingat bahwa kekuatan besar butuh arah yang jelas, tidak hanya di tangan pahlawan, tapi juga di tangan developer. Game ini punya potensi menjadi besar—hanya saja, butuh waktu dan pendekatan yang lebih terarah untuk benar-benar mencapainya.